Wednesday, July 17, 2013

DAKWAH DAN POLITIK SUNAN GUNUNG JATI


Dalam Rangka menyambut bulan suci Ramadhan ini,Postingan kali ini adalah hasil karya tulisan dari teman saya yaitu Akbarudin Sucipto, S. Sos. I yang merupakan Pembina Lembaga Kebudayaan Amparanjati sagotra ( Komunitas amparanjati Cirebon ), Pengasuh siaran Macapat Babad Cirebon RRI Pro 1 Cirebon AM 864 KHZ dan FM 97.5 MHZ setiap Kamis malam Jum`at Pkl. 20.00 sd 22.00 WIB. Koordinator bidang Kepustakaan dan Kepurbakalaan Kraton Kaprabonan Cirebon. Salah satu Peraih Lesbumi Award 2012 kategori Aktifis Penggiat Seni Tradisi dan Budaya Lokal. Sekarang bekerja sebagai Anggota Komisi Informasi Kota Cirebon dan sedang mengambil Program Megister Ilmu Komunikasi di Unisba Bandung.

DAKWAH DAN POLITIK SUNAN GUNUNG JATI

REFLEKSI KULTURAL JELANG IJTIHAD BERJAMA’AH MEMILIH PEMIMPIN
 
Ingkang sinuhun kanjeng susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah SAW, Panetep Panatagama Ing Tanah Sunda (Sulendraningrat, 1968 : 16). Demikian gelar yang diterima oleh Syaikh Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah atau Sunan Gunung Jati ketika dinobatkan menjadi Tumenggung oleh Pangeran Cakrabuana.
Penobatan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati oleh Pangeran Cakrabuana merupakan tonggak awal lahirnya tatanan baru di Pakuwon Carbon, yang lalu kemudian berubah jadi kesunanan (kerajaan Carbon Nagari). Kemasyhuran dan begitu melekatnya nama Sunan Gunung Jati atau Syaikh Syarif Hidayatullah di hati masyarakat Carbon dan Tatar Sunda atau Jawa Barat pada umumnya, ini disebablakan beliau adalah seorang yang sangat berjasa dalam proses penyebaran Islam di Tatar Sunda. Dominasi peran Sunan Gunung Jati inilah dimungkinkan menjadi pintu masuk proses penyebaran Islam di Tatar Sunda menjadi optimal, sehingga agama Sunda Wiwitan atau Purba Tisti Purba Jati Sunda yang merupakan agama asli orang Sunda tersisihkan digantikan oleh syi’ar Islam yang menerangi cahaya kaum muslimin tanah Sunda (Dadan Wildan).

Tuesday, July 2, 2013

Polemik Pemimpin Perempuan


Perempuan memang selalu menjadi bahan perbincangan, begitupun dalam bidang politik, kuota 30% keterlibatan perempuan dalam politik memunculkan persoalan lain. Disatu sisi peraturan itu memberikan jalan menuju kesetaraan gender dalam bidang politik, sehingga memberikan kesempatan yang cukup luas untuk perempuan terjun dalam dunia politik. Disisi lain memunculkan masalah yaitu kurang siapnya perempuan untuk berkiprah dalam politik, sehingga partai-partai politik cenderung “memaksakan” diri untuk mengusung caleg perempuan demi memenuhi kuota tersebut. Hal ini memicu partai mencari caleg perempuan yang popular bisa juga artis ataupun yang mempunyai modal yang besar. Sehingga jika ditelusuri partai politik sudah tidak menjalankan fungsi partai dengan mematuhi aturan tersebut.
Tidak ada yang salah memang dengan aturan kuota 30% perempuan tersebut. Namun peraturan tersebut akan menjadi “hambar” jika tidak diimbangi dengan pendidikan politik yang merata. Idealnya sebelum membuat peraturan tersebut, minimal pendidikan politik di negera kita sudah merata.

Wednesday, June 19, 2013

Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pemilukada)


Demokrasi dan pemilu bukanlah istilah yang asing khalayak politik Indonesia, beberapa tahun setalah revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1955 bangsa Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pemilu pertama yang demokratis yang mempunyai arti penting bagi terbentuknya pemerintahan yang bercorak modern dan demokratis. Dalam pemilu itu dipilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Konstituante. Sebagaimana dinyatakan Feith (1962:201) keberhasilan pemilu 1955 telah menimbulkan optimism yang besar bagi banyak kalangan akan masa depan Indonesia, baik dalam negri maupun luar negeri. Tetapi setalah Dekrit Presiden 5 juli 1959, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila masa Orde Baru menurut Perspektif Benda dalam Kristiadi (2005:234) dipahami sebagai lahirnya kembali perwatakan sebenarnya politik di Indonesia, yaitu kebudayaan Jawa yang feodalis dan otoriter.
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan pengalaman baru dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia. Perubahan penting dalam reformasi konstitusi di Indonesia adalah pemilihan umum yang demokratis, yakni pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu 2004 tidak hanya dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang Independent, tetapi juga dilaksanakan secara langsung untuk menentukan anggota legislative dan eksekutif (Presiden). Selanjutnya tahun 2005 pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.

Tujuan Komunikasi Politik



a.       Citra Politik, karena menurut Robert (1977) (Arifin, 2003:105) bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan pendapat dan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya tentang lingkungan, citra (image) adalah gambaran seseorang (figure) yang tersusun melalui persespsi yang bermakna melalui kepercayaan, nilai dan pengharapan. Menurut Dan Nimmo (2000:6-7) citra politik terjalin melalui pikiran dan perasaan secara subjektif yang akan memberikan penilaian dan pemahaman terhadap peristiwa politik tertentu.
b.      Pendapat Umum, yang diterjemahkan dari bahasa inggris public opinion dikenal pada awal abad ke-18 menurut Alquin menganggap bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan “vox populi, vox dei”, William Albig (Arifin, 2003:116) pendapat umum adalah hasil interaksi antara orang-orang dalam suatu kelompok, sedang Whyte menyebutkan sebagai suatu sikap rakyat mengenai suatu masalah yang menyangkut kepentingan umum sehingga bisa dicirakan sebagai : (a) pendapat, sikap, perasaan, ramalan, pendirian dan harapan-harapan dari individu, kelompok dalam masyarakat tentang maslaah yang berhubungan dengan kepentingan umum atau persoalan sosial; (b) hasil interaksi, diskus, atau penilaian sosial antarindividu berdasarkan pertukaran pikiran secara sadar dan rasional; (c) pendapat umum akan dapat dikembangkan, dirubah dan dibentuk oleh media massa; (d) bisa dilakukan pada penganut paham demokratis.

Bentuk-Bentuk Komunikasi Politik


Terdapat beberapa bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh komunikator infrastruktur politik untuk mencapai tujuan politiknya (Arifin, 2003: 65-98) yaitu :

a.              Retorika, berasal dari bahasa yunani – rhetorica, yang berarti seni berbicara, asalnya digunakan dalam perdebatan-perdebatan di ruang siding pengadilan untuk saling mempengaruhi sehingga bersifar kegiatan antarpesona. Kemudian berkmbang menjadi kegiatan komunikasi massa yaitu berpidato kepada khalayak. Ada tiga jenis retorika menurut Aristoteles dalam karyanya Retorika, (a) retorika diliberitif yaitu dirancang untuk mempengaruhi khalayak dalam kebijakan pemerintah, yang difokuskan pada keuntungan atau kerugian jika sebuah kebijakan diputuskan atau dilaksanakan; (b) retorika forensic, yang berkaitan dengan keputusan pengadilan; (c) retorika demonstrative, yang mengembangkan wacana yang dapat memuji atau menghujat.