Tuesday, July 2, 2013

Polemik Pemimpin Perempuan


Perempuan memang selalu menjadi bahan perbincangan, begitupun dalam bidang politik, kuota 30% keterlibatan perempuan dalam politik memunculkan persoalan lain. Disatu sisi peraturan itu memberikan jalan menuju kesetaraan gender dalam bidang politik, sehingga memberikan kesempatan yang cukup luas untuk perempuan terjun dalam dunia politik. Disisi lain memunculkan masalah yaitu kurang siapnya perempuan untuk berkiprah dalam politik, sehingga partai-partai politik cenderung “memaksakan” diri untuk mengusung caleg perempuan demi memenuhi kuota tersebut. Hal ini memicu partai mencari caleg perempuan yang popular bisa juga artis ataupun yang mempunyai modal yang besar. Sehingga jika ditelusuri partai politik sudah tidak menjalankan fungsi partai dengan mematuhi aturan tersebut.
Tidak ada yang salah memang dengan aturan kuota 30% perempuan tersebut. Namun peraturan tersebut akan menjadi “hambar” jika tidak diimbangi dengan pendidikan politik yang merata. Idealnya sebelum membuat peraturan tersebut, minimal pendidikan politik di negera kita sudah merata.
Pemilukada di kabupaten kuningan saat ini yang akan dilaksanakan bulan September 2013 ini menjadi menarik karena salah satu calon bupati merupakan perempuan. Ini menjadi satu-satunya perempuan yang mencalonkan diri menjadi calon bupati sepanjang sejarah kabupaten kuningan. Hal lain muncul seiring dengan itu, terutama bagi kalangan agamis atau kiai atau ulama di kabupaten kuningan yang sebagian menyatakan “tidak boleh” memilih pemimpin perempuan dengan alasan hasil bashulmasail para ulama kuningan yang menyatakan tidak boleh memilih pemimpin perempuan. Sebagian pihak ulama jugan mengatakan boleh memilih pemimpin perempuan dengan menggunakan dalil-dalilnya sebagai dasar dari argument tersebut.   Namun apapun dasar dari argument tersebut, saya tidak ingin membahasnya dari perspektif agama, karena itu bukan kapasitas saya untuk membahas itu.
Saya coba mengambil perspektif yang berbeda, menurut saya inti dari perbedaan pendapat tentang memilih pemimpin perempuan adalah bukan hanya persoalan dalil, namun dari beberapa hal. Pertama, munculnya kiai – kiai yang terlalu “lebay” dalam mendukung pemimpin perempuan dengan menggunakan dalil-dalil yang menurut saya itu tidak “elegan” yang tentu saja konsekwensinya akan bertabrakan dengan ulama yang kontra terhadap itu dan juga rakyat akan menjadi antipati terhadap itu. Kedua, munculnya pihak-pihak atau arus besar masyarakat yang tidak menghendaki politik dinasti yang terjadi di kabupaten kuningan, itu dikarenakan cabub perempuan merupakan istri bupati saat ini.ketiga, pertanyaan besar bagi masyarakat kuningan adalah sejauhmana peranan beliau, keilmuan,pengalaman dan kontribusi beliau terhadap kabupaten kuningan yang tentu saja itu menjadi poin penting dalam kampanye cabub di kabupaten kuningan.
Idealnya ketika berbicara tentang pemilihan bupati adalah bukan persoalan gender ataupun keluarga inkamben, melainkan masyarakat melihat dari sudut pandang peranan si calon, keilmuan, pengalaman, kontribusi dan attitude si calon. Masyarakat kabupaten kuningan dalam hal ini dituntut untuk lebih cerdas dalam memilih cabub tersebut, dengan harapan kabupaten kuningan jauh lebih baik untuk kedepannya.

No comments:

Post a Comment