Perempuan memang selalu menjadi bahan perbincangan,
begitupun dalam bidang politik, kuota 30% keterlibatan perempuan dalam politik
memunculkan persoalan lain. Disatu sisi peraturan itu memberikan jalan menuju
kesetaraan gender dalam bidang politik, sehingga memberikan kesempatan yang
cukup luas untuk perempuan terjun dalam dunia politik. Disisi lain memunculkan
masalah yaitu kurang siapnya perempuan untuk berkiprah dalam politik, sehingga
partai-partai politik cenderung “memaksakan” diri untuk mengusung caleg
perempuan demi memenuhi kuota tersebut. Hal ini memicu partai mencari caleg
perempuan yang popular bisa juga artis ataupun yang mempunyai modal yang besar.
Sehingga jika ditelusuri partai politik sudah tidak menjalankan fungsi partai
dengan mematuhi aturan tersebut.
Tidak ada yang salah memang dengan aturan kuota 30%
perempuan tersebut. Namun peraturan tersebut akan menjadi “hambar” jika tidak
diimbangi dengan pendidikan politik yang merata. Idealnya sebelum membuat
peraturan tersebut, minimal pendidikan politik di negera kita sudah merata.
Pemilukada di kabupaten kuningan saat ini yang akan
dilaksanakan bulan September 2013 ini menjadi menarik karena salah satu calon
bupati merupakan perempuan. Ini menjadi satu-satunya perempuan yang mencalonkan
diri menjadi calon bupati sepanjang sejarah kabupaten kuningan. Hal lain muncul
seiring dengan itu, terutama bagi kalangan agamis atau kiai atau ulama di
kabupaten kuningan yang sebagian menyatakan “tidak boleh” memilih pemimpin
perempuan dengan alasan hasil bashulmasail para ulama kuningan yang menyatakan
tidak boleh memilih pemimpin perempuan. Sebagian pihak ulama jugan mengatakan
boleh memilih pemimpin perempuan dengan menggunakan dalil-dalilnya sebagai
dasar dari argument tersebut. Namun
apapun dasar dari argument tersebut, saya tidak ingin membahasnya dari
perspektif agama, karena itu bukan kapasitas saya untuk membahas itu.
Saya coba mengambil perspektif yang berbeda, menurut saya inti
dari perbedaan pendapat tentang memilih pemimpin perempuan adalah bukan hanya
persoalan dalil, namun dari beberapa hal. Pertama,
munculnya kiai – kiai yang terlalu “lebay” dalam mendukung pemimpin perempuan
dengan menggunakan dalil-dalil yang menurut saya itu tidak “elegan” yang tentu
saja konsekwensinya akan bertabrakan dengan ulama yang kontra terhadap itu dan
juga rakyat akan menjadi antipati terhadap itu. Kedua, munculnya pihak-pihak atau arus besar masyarakat yang tidak
menghendaki politik dinasti yang terjadi di kabupaten kuningan, itu dikarenakan
cabub perempuan merupakan istri bupati saat ini.ketiga, pertanyaan besar bagi masyarakat kuningan adalah sejauhmana
peranan beliau, keilmuan,pengalaman dan kontribusi beliau terhadap kabupaten
kuningan yang tentu saja itu menjadi poin penting dalam kampanye cabub di
kabupaten kuningan.
Idealnya ketika berbicara tentang pemilihan bupati adalah
bukan persoalan gender ataupun keluarga inkamben, melainkan masyarakat melihat
dari sudut pandang peranan si calon, keilmuan, pengalaman, kontribusi dan attitude
si calon. Masyarakat kabupaten kuningan dalam hal ini dituntut untuk lebih cerdas
dalam memilih cabub tersebut, dengan harapan kabupaten kuningan jauh lebih baik
untuk kedepannya.
No comments:
Post a Comment