Demokrasi dan
pemilu bukanlah istilah yang asing khalayak politik Indonesia, beberapa tahun
setalah revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1955 bangsa
Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pemilu pertama yang demokratis yang
mempunyai arti penting bagi terbentuknya pemerintahan yang bercorak modern dan
demokratis. Dalam pemilu itu dipilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Konstituante. Sebagaimana dinyatakan Feith (1962:201) keberhasilan pemilu
1955 telah menimbulkan optimism yang besar bagi banyak kalangan akan masa depan
Indonesia, baik dalam negri maupun luar negeri. Tetapi setalah Dekrit Presiden
5 juli 1959, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila masa Orde Baru menurut
Perspektif Benda dalam Kristiadi (2005:234) dipahami sebagai lahirnya kembali
perwatakan sebenarnya politik di Indonesia, yaitu kebudayaan Jawa yang feodalis
dan otoriter.
Pemilihan kepala
daerah secara langsung merupakan pengalaman baru dalam sejarah pemilihan umum
di Indonesia. Perubahan penting dalam reformasi konstitusi di Indonesia adalah
pemilihan umum yang demokratis, yakni pemilihan umum yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu 2004 tidak hanya dilaksanakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang Independent,
tetapi juga dilaksanakan secara langsung untuk menentukan anggota legislative
dan eksekutif (Presiden). Selanjutnya tahun 2005 pelaksanaan pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung.
Dalam system
demokratis, pemilihan umum yang terbuka, bebas dan adil merupakan salah satu
unsur penting. Bahkan pemilihan umum merupakan esensi demokrasi, karena dengan
pemilihan umum ada mekanisme untuk menyeleksi pimpinan dan ada jaminan
perubahan secara periodic kepemimpinan, sehingga dapat mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pemimpin setelah duduk dalam kekuasaan. Schumpeter dalam
Fitriyah (2005:292) menyebutkan ada dua mekanisme yang secara efektif dapat
mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam system yang demokratis, yaitu
: (1) pemilihan umum yang regular, (2) kompetisi terbuka dan sederajat diantara
partai-partai politik. Sedangkan menurut Rasyid (2000:118-119) ada empat alasan
mengapa pemilihan umum dipandang sebagai unsur penting system politik demokratis,
yaitu :
1.
Pemilihan umum merupakan prosedur
dan mekanisme pendelegasian sebagai kedaulatan rakyat kepada penyelenggaraan
Negara, baik yang akan duduk dalam lembaga legislative maupun eksekutif di
pusat dan daerah. Untuk bertindak atas nama rakyat dan bertanggung jawab kepada
rakyat.
2.
Pemilihan umum merupakan prosedur
dan mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan petentangan kepentingan dari
masyarakat ke dalam lembaga penyelenggaraan Negara, baik di pusat maupun di
daerah, untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab.
3.
Pemilihan umum merupakan prosedur
dan mekanisme perubahan politik maupun perubahan arah dan pola kebijakan
public.
4.
Pemilihan umum juga dapat
digunakan sebagai prosedur dan mekanisme engineering
untuk mewujudkan tatanan politik dan pola perilaku politik yang disepakati
bersama.” (adiyana,2008:78)
Perubahan
penting dalam reformasi konstitusi di Indonesia adalah pemilihan umum yang
demokratis. Pemilu 2004 tidak hanya dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang independen, untuk pemilihan anggota legislative dan presiden, tetapi
juga berimplikasi kepada pemilihan kepala daerah yang terwujud setelah
dilakukannya revisi Undang-Undang No.22 tahun 1999 menjadi Undang-Undang No.32
tahun 2004.
Perubahan
undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1995 Pasal 1 ayat (2),
menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar”. Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak
lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat tetapi
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang Dasar.
Salah satu wujud
dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya
disebut pemilu) dalam waktu-waktu tertentu yang semuanya dilaksanakan menurut
undang-undang sebagai perwujudan Negara hukum dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia, karena Pemilu pada hakekatnya merupakan pengakuan dan
perwujudan dari hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian
hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakil nya untuk menjalankan
pemerintahan.
Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Pemilu Legislatif juncto Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden menyatakan bahwa “Pemilu adalah sarana pelaksanaan
Kedaulatan Rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Menurut
Nurtjahyo (2006:87), ada dua pendekatan pengertian demokrasi :
“pertama, ditinjau dari segi
keseluruhannya yang lebih besar, demokrasi merupakan atau perangkat kekuasaan
(struktur) yang dimaksudkan sebagai penghayatan, tatanan dan pengelolaan
bernegara yang dikehendaki dan disetujui oleh rakyat melalui suatu mayoritas.
Jadi demokrasi adalah salah satu fenomena pengelolaan kekuasaan dalam suatu
institusi Negara yang menempatkan suara rakyat mayoritas yang bebas dan
berkesamaan hak menjadi penentu; kedua dari segi bagian-bagiannya yang
menyusunnya, demokrasi merupakan suatu konsep kekuasaan didukung oleh tiga
prinsip eksistensial, yaitu prinsip kebebasan, prinsip kesamaan beserta deivatnya,
dan persetujuan rasional dari rakyat yang diukur melalui prinsip mayoritas ke
dalam semangat dan mekanisme pengelolaan Negara yang dapat dikontrol oleh
rakyat secara efektif.” (adiyana,2008:80)
Lebih lanjut
dikatakan Beetham dan Kevin Boyle (2000:21) bahwa :
Demokrasi adalah masalah ukuran,
sejauhmana prinsip-prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis dapar
diwujudkan; seberapa besar partisipasi rakyat dalam pengambilan atau pembuatan
keputusan kolektif. Jadi secara logis demokrasi tidaknya system pemerintahan
Negara diukur dari selaras tidaknya kebijakan pemerintahan dengan kehendak atau
kepentingan rakyat yang terukur lewat suara mayoritas.” (adiyana,2008:80)
Sedangkan
menurut Tambunan (1986:13), berpendapat bahwa “Pemilihan Umum merupakan sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat pada hakekatnya merupakan pengakuan dan
perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan
pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk
menjalankan pemerintahan.”
Lebih lanjut
dikatan Sanit (1978:33) bahwa pemilu adalah :
“Dari segi defenisi, kepada daerah tidak
dirumuskan secara terserat sebagai pemilihan umum tetapi secara substansi
seluruh asas dan proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah
pemilihan umum. Yaitu sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 12
tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 yang diadopsi seluruhnya dalam
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.” (adiyana,2008:81)
Kepala daerah
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka pengembangan kehidupan
demokrasi, keadilan, pemeratan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan
yang serasi antara pemerintahan pusat dan daerah serta antar daerah untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan
figure kepala daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan kedepan dan
siap melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Konsekwensi logis dari
ketentuan tersebut adalah bahwa pemilihan kepala daerah harus memeproleh
legitimasi masyarakat secara penuh. Disisi lain pemilihan kepala daerah secara
demokratis tersebut sebagai manifestasi daripada wujud kedaulatan rakyat pada
tingkat daerah yaitu, Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
menyelenggarakan pemerintah local diberbagai Negara menurut Riyadmaji
(2003:218) terdapat tiga varian untuk menentukan kepala daerah : “(1) dipilih
secara langsung, (2) dipilih tidak langsung oleh dewan, (3) ditunjuk oleh
pemerintah.” Dibanyak Negara mekanisme tersebut jarang diperdebatkan sepanjang
fungsi-fungsi pemerintahan di daerah dapat dilaksanakan secara optimal dan
dirasakan oleh masyarakat.
Terlaksananya
pilkada langsung menunjukan adanya peningkatan demokrasi di Indonesia. Kadar
demokrasi suatu Negara ditentukan antara lain oleh seberapa besar peranan
masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka yang dijadikan pejabat
Negara, baik ditingkat nasional maupun daerah yang dipilih langsung oleh
rakyatnya, semakin tinggi kadar demokrasi dari Negara tersebut. Sebuah
keniscayaan dengan otonomi daerah dan desentralisasi, kadar partisipasi politik
rakyat semakin tinggi, baik dalam memilih pejabat public. Paralel dengan itu,
menurut pendapat Dahl (1989) mengatakan bahwa “demokrasi pada tingkat nasional
hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat local.”
Hadenius (1992:42) dalam Crossant mengatakan bahwa :
“Suatu pemilu, termasuk pilkada
langsung, disebut demokrasi kalau memiliki makna dengan merujuk tiga criteria,
yaitu (1) keterbukaan, (2) katepatan dan (3) keefektifan pemilu. Criteria
tersebut harus dipenuhi bukan hanya pada saat pemungutan suara saja, melainkan
juga sewaktu dilakukan kampanye dan perhitungan suara, criteria itu juga
berarti kepala daerah yang dipilih benar-benar akan menduduki jabatannya.” (adiyana,2008:83)
Keterbukaan
mengandung tiga maksud bahwa akses pada pilkada harus terbuka bagi setiap warga
Negara (universal suffrage, atau hak
pilih universal), akses warga yang terbuka berarti bahwa hak pilih benar-benar
bersifar universal, seluruh warga negara dijamin memiliki hak pilih tanpa
diskriminasi. Keterbukaan juga berarti persamaan nilai-nilai suara diseluruh
warga Negara tanpa terkecuali. Prinsip yang digunakan adalah one person, one vote, one value. Semua
warga Negara dihitung sama. Criteria mengenai ketepatan bertujuan pada
pendaftaran dan identifikasi pemilih, kampanye dan prosedur pemilu dalam
pengertian lebih ketat, yaitu semua calon harus mempunyai akses yang sama
kepada media Negara dan swasta berdasarkan standar-standar hukum yang sama;
aparat Negara harus netral secara politis pada saat menyelenggarakan pilkada.
Kedaulatan rakyat didalamnya mengandung pengertian bahwa pilkada langsung harus
efektif, itu berarti jabatan kepala eksekutif harus diisi semata-mata dengan
pemilu.
Undang-Undang
memandang bahwa pemilihan Kepala Daerah secara demokratis dapat dilakukan
melalui dua cara, pertama, pemilihan oleh DPRD, kedua pemilihan langsung oleh
rakyat. Pasal 62 Undang-Undang nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak mencantumkan tugas dan wewenang DPRD
untuk memilih kepala daerah langsung. Dengan demikian, makna pemilihan kepala
daerah secara demokratis sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik
Indonesia tahun 1945 adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat. Ketentuan
itu memberikan jawaban yang sangat jelas bahwa pemilu secara limitative telah
ditentukan untuk memilih presiden dan wakilnya, DPR, DPD dan DPRD dan bukan
untuk memilih kepala daerah. Ini berarti pilkada bukan masuk dalam ranah
pemilu. Untuk itu maka urusan pilkada bukan merupakan domain Undan-Undang nomor
12 tahun 2003 tentang pemilu.
Pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah menurut Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah
diamandemen, pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih secara demokratis. Ketentuan pemilihan kepala daerah tersebut
ditafsirkan sebagai pemilihan tidak langsung. Artinya dipilih oleh DPRD. Namun
setelah undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
diterbitkan dan ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pata
tanggal 15 oktober 2004, secara jelas disebutkan pada pasal 56 ayat (1) bahwa :
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.”
Lebih lanjut
lagi dijelaskan ole Ma’ruf, dalam Mubarok (2005:5-6) ada lima pertimbangan
penting penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia yaitu :
“Pertama, Pilkada
langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan
Presiden dan wakil presiden, DPD, DPR bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan
secara langsung; Kedua, Pilkada
langsung merupakan perwujudan konstitusi dan Undang-Undang Dasar 1945. Seperti
yang diamandemen pasal 18 ayat (4) undang-undang Dasar 1945, Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepla pemerintahan daerah, Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam
Undang-undang no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah; Ketiga, Pilkada langsung sebagai sarana
pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (Civil education); Keempat,
pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat Otonomi Daerah. Keberhasilan
otonomi daerah salah satunya ditentukan oleh pemimpin local. Semakin baik
pemimpin local, maka komitmen dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara
lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan dan
aspirasi maysarakat; dan Kelima,
Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan
nasional.” (adiyana,2008:85)
Dari sisi
demokrasi, menurut Rozu dkk (2004:105), bahwa :
Pilkada langsung merupakan jawaban yang
paling mutlak di dalam menanggapi pertanyaan “bagaimana suara rakyat hendak
dihargai.” Kendati proses pencalonannya masih melewati partai politik yang ada
di DPRD, pemilih diberi kebebasan untuk menentukan pasangan calon yang
dikehendaki. Prinsip hak asasi politik, yaitu “satu orang satu suara dan satu
nilai.” (One person one vote and one
value) sungguh-sungguh tercermin disana. Siapa saja memiliki kesempatan
untuk menjadi pemimpin daerah asal lulus dari seleksi aturan-aturan yang
berlaku dan dipilih rakyat lewat pemilihan kepala daerah secara langsung.
Dengan kata lain, tidak lagi ada perdebatan anatara elit dengan massa dalam
memilih pejabat public yang paling menentukan di daerah. (adiyana,2008:85)
Pemilihan kepala
daerah langsung merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi pengembangan
demokrasi di daerah. Tujuan utama pemilihan kepala daerah secara langsung
diantaranya adalah menumbuhkan peran serta masyarakat secara luas. Dalam
konteks ini pula pilkada diatur dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah. Pelaksanaan pilkada langsung tidak hanya dijiwai oleh
semangat demokrasi, tetapi lebih penting lagi mengacu pada kaidah dan prinsip
dasar Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
No comments:
Post a Comment